Jejak Dosa di Ujung Malam, Teater Lakon: Jalan Pintas Pemenuhan Ambisi Manusia

Jejak Dosa di Ujung Malam, Teater Lakon: Eksploitasi Keputusasaan dan Ambisi Manusia

Maraknya judi online di Indonesia merupakan cerminan dari permasalahan kompleks yang melibatkan aspek ekonomi dan sosial. Tingkat literasi keuangan yang rendah membuat masyarakat rentan tergiur oleh iming-iming keuntungan cepat dari judi online. Ketidakstabilan ekonomi terutama bagi kelas menengah dan strategi pemasaran yang agresif semakin memperparah situasi. Akibatnya, banyak orang terjerat dalam lingkaran hutang dan masalah sosial lainnya.

Dilansir dari laman jalin.id, Bhima Yudhistira Adhinegara dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan sekitar 40% masyarakat kelas menengah berisiko jatuh miskin karena beban ekonomi yang tidak sesuai dengan pendapatan. Dalam konteks ini, judi online sering kali dilihat sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan cepat, meskipun risikonya sangat tinggi.

Jalan pintas tersebut berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow tentang Hierarchy of Needs. Dalam teori tersebut, Maslow menyatakan bahwa saat merasa takut bahwa kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, manusia sering mengambil tindakan ekstrem. Isu yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini menjadi sebuah inspirasi pementasan teater dari Teater Lakon.

Baca Juga: Suara dalam Karya: Representasi Realita melalui Monolog
Halim dan keluarga pertama kali mendapat uang setelah menjalankan ritual sekte Nyi Warsa dalam pementasan teater “Jejak Dosa di Ujung Malam” pada Rabu (4/9) di Gedung Amphiteater UPI, Bandung.
(Foto: Literat/Labibah)

Disutradarai oleh Irfan Badrul Zaman, pada tanggal 3–4 September 2024 di Amphiteater UPI Teater Lakon mempersembahkan pementasan berjudul “Jejak Dosa di Ujung Malam”. Isu utama yang diangkat perihal ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Irfan dibantu oleh Dilla Nur’asa selaku penulis naskah sekaligus pimpinan produksi dan kawan lainnya untuk mengemas isu kompleks itu ke sebuah panggung pementasan.

Dilla menjadikan Halim sebagai tokoh utama yang terjebak dalam ambisinya mengejar kekayaan. Keinginan keluar dari jerat kemiskinan dengan instan membuatnya memilih jalan yang melawan norma dengan berjudi dan mengikuti sekte demi kekayaan. Kedua pilihan itu tampak seperti jalan pintas untuk menyejahterakan keluarganya. Namun, pada akhirnya justru menjadi penyebab kehancuran diri sendiri beserta keluarganya.

Halim dan keluarganya berada dalam kondisi serba kesulitan. Biaya sekolah anaknya menunggak dan hutang sudah menumpuk dimana-mana. Sebagai kepala keluarga, ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Dalam kondisi tersebut, kebiasaan berjudi menjadi bayang-bayang untuk meraih kekayaan instan bagi Halim. Saat masalah berdatangan, seperti uang sudah tidak dimilikinya lagi dan masa depan kedua anaknya terancam. Jalan keluar yang diambil Halim masih sama hanya saja berbeda bentuk, yaitu mengikuti sekte Nyi Warsa yang menjanjikan kekayaan instan.

Ilusi Kekayaan yang Menjerat Halim dan Keluarganya

Ketakutan Halim akan kemiskinan diubah menjadi keyakinan bahwa berjudi dan mengikuti sekte adalah jalan keluar efektif. Hal tersebut memperlihatkan eksploitasi deficiency needs (kebutuhan defisiensi) yang tidak terpenuhi dalam hidupnya. Maslow dalam teorinya menekankan saat kebutuhan dasar individu tidak dipenuhi, mungkin individu akan mengambil keputusan yang merugikan, sebagaimana terjadi pada Halim. 

Akibat keputusan yang diambil, Halim mau tidak mau harus berhutang. Tak hanya itu, ia menjadi pribadi yang kasar sehingga melakukan KDRT terhadap istrinya serta anaknya. Mengetahui tabiat ayahnya, Bima sebagai anak pertama menjadi kehilangan semangat juang. Padahal sebelum ayahnya bergabung dengan sekte, ia semangat untuk memilih bekerja dibanding berkuliah demi menghidupi keluarganya. 

Sekte dalam “Jejak Dosa di Ujung Malam” berfungsi sebagai simbol eksploitasi ketakutan dan keinginan manusia. Ritual yang dilakukan sekte –seperti yang digambarkan dalam film yang tayang di tengah pertunjukkan– menampakkan ilusi kekuasaan spiritual disertai dengan janji akan kekayaan. Menurut teori Thought Reform dari Robert Jay Lifton, sekte sering kali menggunakan metode seperti ritual, dogma, dan disiplin ketat untuk mengendalikan individu sekaligus menanamkan keyakinan bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari individu.

Baca Juga: Kartini dan Pertiwi
Anggota sekte Nyi Warsa yang sedang melakukan ritual dalam pementasan teater “Jejak Dosa di Ujung Malam” pada Rabu (4/9) di Gedung Amphiteater UPI, Bandung. (Foto: Literat/Labibah)

Dalam cerita, Halim terisolasi dari keluarganya dan mulai mematuhi aturan sekte. Ia memasang aksara Sunda di rumah, menyalakan wewangian tiap bulan purnama, melarang siapapun masuk ke ruang kerjanya, serta beberapa aturan lainnya. Ini mencerminkan salah satu tahap dari Thought Reform, yaitu mystical manipulation. Tahap tersebut mengindoktrinasi bahwa tindakan atau ritual tertentu memiliki kekuatan supranatural yang bisa memberi manfaat atau akibat fatal jika dilanggar. “Keluar sama dengan mati, melanggar sama dengan menyetujui”, sebuah ultimatum yang dikeluarkan Nyi Warsa saat pertama kali bertemu dengan Halim.

Adapun keikutsertaan Halim pada sekte ini adalah bumbu yang diberikan oleh Irfan bersama dengan Dilla untuk memberikan kesegaran pada cerita. Menurut Irfan “Kalau semisal hanya menggunakan konsep judi online, firasat saya itu akan boring karena judi dalam naskah apapun  sudah banyak diangkat sebelumnya. Dari tahun 90-an sampai sekarang”. Oleh karena itu, gabungan antara judi dan sekte memiliki korelasi untuk mendapatkan sesuatu secara cepat dan mudah.

Bima Meniru Jejak Halim

Pilihan Halim untuk bergabung dengan sekte bukan hanya menghancurkan dirinya, tetapi juga keluarganya. Dalam cerita, Bima yang semangat juangnya sudah hilang akhirnya mengikuti jejak ayahnya. Ia percaya bahwa menjalankan ritual dan aturan sekte Nyi Warsa dapat menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan. Ini menunjukkan bagaimana modeling atau perilaku yang dipelajari dari orang tua bisa menjerumuskan keturunannya dalam siklus yang sama.

Albert Bandura dalam Social Learning Theory menekankan bahwa manusia terutama anak-anak, mempelajari perilaku melalui observasi dan menirukan perilaku model yang signifikan dalam hidup mereka. Dalam kasus Bima, ayahnya memberi model dengan mengikuti berbagai ritual, pantangan yang telah diberikan oleh sekte padanya dengan imbalan kekayaan. Bima mengikuti jejak Halim karena ia yakin metode tersebut pernah berhasil memberikan kemakmuran sebelumnya. Meskipun, kemakmuran tersebut hanya sementara dan berdampak buruk pada akhirnya.

Namun, Carl Rogers dalam Humanistic Theory mempunyai perspektif lain, bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang menuju self-actualization. Meskipun pengaruh lingkungan kuat, individu masih memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Ini menegaskan meski Bima meniru perilaku ayahnya, sebenarnya ia memiliki pilihan untuk mengambil jalan lain atas kuasanya sendiri. Namun, ia memilih untuk mengikuti jejak tersebut karena tekanan dan keyakinannya pada jalan pintas yang sudah kadung terbentuk dalam waktu lama.

Judi dan Sekte Bukan Jalan Pintas atas Keputusasaan Manusia

Fenomena sekte dalam “Jejak Dosa di Ujung Malam” memiliki kesamaan dengan eksploitasi sosial dalam kehidupan nyata. Banyak sekte dan organisasi yang menawarkan janji-janji palsu menggunakan retorika religius, mistik, atau spiritual untuk memanipulasi individu yang putus asa. Beberapa sekte terkenal di dunia yang menggunakan metode ini di antaranya ada Branch Davidians dan Heaven’s Gate. Robert J. Lifton menyebut proses ini sebagai destruction of identity. Ini dapat terjadi ketika individu perlahan-lahan kehilangan identitas aslinya dan mengambil identitas yang diberikan oleh sekte atau organisasi yang mengeksploitasi mereka.

Nyi Warsa dan pengikutnya mendatangi Bima dalam pementasan teater “Jejak Dosa di Ujung Malam” pada Rabu (4/9) di Gedung Amphiteater UPI, Bandung. (Foto: Kezia Olivia)

Sekte dalam “Jejak Dosa di Ujung Malam” mengeksploitasi ketakutan dan keinginan untuk menawarkan jalan pintas yang pada akhirnya membawa kehancuran. Sasaran empuk yang mudah terjerumus dalam sekte adalah mereka yang berada dalam posisi ekonomi yang rentan. Melalui teori Hierarchy of Needs dari Maslow dan Thought Reform dari Lifton, kita dapat memahami bagaimana sekte mampu mengeksploitasi individu dalam kondisi tertekan. Namun, perbandingan dengan teori Rogers tentang kebebasan individu menunjukkan bahwa pilihan selalu ada, meski tekanan lingkungan sangat kuat.

Kisah Halim dan Bima yang diciptakan oleh Teater Lakon dapat memberikan pelajaran bahwa solusi cepat sering kali hanya membawa bencana. Kejadian yang dialami oleh Halim dan keluarganya bisa kita temukan juga dalam realitas sosial. Keputusasaan pada akhirnya akan membawa individu ke dalam kesengsaraan bagi diri sendiri serta orang-orang di sekitar.

Bila kalian tertarik untuk terlibat dalam pementasan teater, entah itu menjadi aktor, penata, sutradara, atau bahkan penulis naskah. Silakan bergabung dengan Teater Lakon untuk mengasah keterampilan dan berkontribusi dalam dunia teater di sini.

Baca Juga: Kala Senja Menyelimuti Senayan

Penulis: Rihan Athsari
Editor: Labibah