Kamis, 9/12/21 – Aliansi UPI Lawan KS melaksanakan seminar nasional bertajuk RUU TPKS dan Pemenuhan Hak Asasi Perempuan. Acara yang dilaksanakan secara blended ini sekaligus untuk memperingati puncak 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Berkonsep semi-talkshow, acara ini dipandu oleh Kahfi Ahmad Muharram sebagai moderator.
Seminar nasional ini dihadiri oleh 6 pemateri, antara lain, Ratna Bataramuntik dari direktur LBH APIK Jabar, Hani Yulindrasari Ph.D sebagai kepala pusat kajian pendampingan krisis UPI, Vivi Widiawati dari Perempuan Mahardika, Azmi Mahatmanti dari GREAT UPI sekaligus ketua BEM KEMA FIP UPI, Ala’i Nadjib dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia, dan terakhir Willy Aditya dari Badan Legislasi DPR RI.
Ratna Bataramuntik dalam pemaparan materinya menceritakan perjalanan panjang yang harus dilalui RUU ini untuk disahkan. Sempat mengalami hambatan di periode sebelumnya, draf RUU TPKS kembali dibahas pada 1 November. 7 Fraksi menyutujui draf ini, 1 fraksi meminta penundaan dan 1 fraksi menolak. Di dalam pandangan mini-fraksi, mereka masih menginginkan penghapusan frasa “kekerasan seksual”.
Hani Yulindrasari Ph. D, memberikan pernyataan atas permohonan salah satu fraksi untuk mengganti frasa “kekerasan seksual” menjadi frasa “Tindak Pidana”. Beliau menyatakan, “Kita harus punya terminologi yang membedakan dengan perilaku seksual lainnya. Yang membedakan siapa pelaku dan korban, agar kita dapat mengetahui kepada siapa kita harus berpihak”. Menurutnya, jika frasa tersebut diganti dengan “Tindak Pidana” maka segala jenis perilaku seksual akan dipidanakan.
Baca juga : Inaugurasi Hima Satrasia, Bukan Sekedar Apresiasi!
Vivi Widiawati, yang mewakili para buruh perempuan, turut memaparkan pendapatnya tentang pemilihan diksi “konsen” yang sempat menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Menurutnya, konsen sangatlah penting karena konsen hidup di relasi manapun, baik perkawinan maupun dalam hubungan pacaran. “Dalam relasi perkawinan, konsen itu hidup. Dalam relasi pacaran, konsen hidup. Konsen memberikan batas kapan kita ingin melanjutkan.” Selain itu, Vivi menambahkan bahwa konsen meng-empower kita untuk menolak.
Vivi juga menceritakan bagaimana pelecehan seksual terjadi di ruang kerja dan bagaimana relasi kuasa berpengaruh dalam kekerasan seksual. Pekerja yang mengalami pelecehan seksual sulit untuk berkata tidak.
Azmi berujar bahwa kampus belum menjadi tempat yang aman untuk perempuan. Meskipun kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus UPI terhitung sedikit, tidak berarti UPI sudah menjadi ruang aman untuk perempuan. Selain itu, Azmi juga membahas tentang KDP (Kekerasan Dalam Pacaran). KDP masuk ke dalam kekerasan ranah privat.
Terakhir, pematerian dari Bu Ala’i yang memaparkan pandangan Islam terhadap kekerasan seksual. Dalam ilmu fiqih, dibahas mengenai larangan seorang muslim untuk merusak. Merusak yang dimaksud juga berhubungan dengan kasus kejahatan. Bu Ala’i juga menjelaskan tentang bagaimana Islam mengatur relasi perempuan dan laki-laki. Relasi antara suami dan istri harus didasarkan persetujuan keduanya dan tanpa paksaan.
Sebetulnya pada acara kali ini panitia menghadirkan 6 orang pemateri. Namun, karena satu dan lain hal, Willy Aditya tidak bisa menghadiri seminar nasional ini, sehingga pendapatnya mengenai legitimasi RUU TPKS tidak tersampaikan.
Setelah pematerian selesai, acara dilanjut dengan sesi tanya jawab antara pemateri dan peserta. 3 peserta mengajukan pertanyaan seputar kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di lingkungan terdekat. Diskusi berjalan dengan lancar dan kondusif.
Acara ini ditutup dengan pembagian souvenir dari panitia untuk pemateri dan moderator. Setelahnya ada pernyataan sikap mendukung RUU TKPS yang dibacakan oleh kedua pewara, kemudian diakhiri dengan sesi dokumentasi berupa foto bersama.
Baca juga : Menilik HAKtP dan Permendikbud PPKS: Ada Fakta Apa di Baliknya?
Penulis : Salsabila Izzati Alia
Editor : Algina Shofiyatul Husna