FIKSI MINI
Renung Gunung
Setiap jam empat pagi penuh pasrah, sesunyi lenggang notifikasi pada gawai. Dari jendela instagram nampak dua gunung. Menyembul. Ketika itu ketakutan akan gairah seksi menelanjangi diri. Ia ingin pergi mendaki gunung, mencari tempat yang baik untuk kehilangan sinyal. Sinyal-sinyal yang membuat pohon tak tumbuh tegak.
Selang Petang di Pematang Gersang
Permainan selalu menyenangkan, permainan yang selalu menghentikan waktu. Waktu saat itu terasa lama ketika aku bermain layang-layang di sawah. Tak ingat banyak serangga yang terbang di atas kepala. Saat ini berbeda, karena sawah sudah menjadi ruko-ruko bangkrut dan warung internet yang ramai. Aku tak bisa menerbangkan harapan lagi, untuk memberitahu anak kecil. Betapa menyenangkan melihat layang-layang putus ketika petang. Dan seperti biasa, anak kecil lebih memilih kuota internet dan kehidupannya dipermainkan oleh permainan.
Suara dari Keran
Tetanggaku di belakang kontrakan ini sering sekali mandi ketika tengah malam. Sialan. Mengapa mesti aku punya kamar di pojok? Bukannya apa-apa. Suaranya cempreng, aku sampai pernah memecahkan asbak, ketika dirinya menyenandungkan lagu remix jedag-jedu yang ada di tiktok. Hal yang paling menyebalkan ialah ketika suara keran dinyalakan. Begitu keras. Pasti selang yang menempel ia cabut, supaya suaranya lebih nyaring berantakan. Pointnnya bukan itu. Astaga. Setiap suara nyaring itu keluar, ia mendesah membacakan puisi-puisi Neruda, aku tak bisa tidur.
Selamat tinggal, yang Tertinggal
Ketika kita bersama, rupanya kamu suka so-soan bercanda. Jika aku tak ketawa, kamu menggelitik ketekku. Geli. Atau bahkan cemberut dengan raut lucu, jika begitu kamu meminta tanganku untuk mengusap rambutmu. Tak ada yang mesti senyum buatku, pada batas ini. Segala khawatir sembunyi di kuplukmu -yang di dalamnya tidak tumbuh rambut lagi. Untukmu, aku kangen. Sangat. Melihat foto kirimanmu setelah kamu mandi, rambut tergurai panjang acak-acakan, tubuh yang dibalut handuk. Aku kangen. Berat. Untuk pergi ke toilet dan membayangkan kamu yang sudah terkubur.
Baca juga : Mengenang Satu Tahun Ajip Rosidi: Perenungan dan Tamparan untuk Orang Sunda
Penulis : Alfaza Metini